seorang ayah ...
25 tahun yang lalu,Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kamiada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalamtiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpasungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa d! an salamsejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukurkarena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurkusudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku..Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.22 tahun yang lalu,Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makankeluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punyamomongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap iabisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budibaik hingga dia tampak ! sempurna. Kulitnya masih merah,mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia takdijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harusbisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania takmau menerima kami.. Ya sudahlah. Aku tak berhak untukmemaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin,suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.19 tahun yang lalu,Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senangberlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja kekursi la! lu dari kursi ke lantai kemudian berteriak'Horeee, Iya bisa terbang'. Begitulah diamemanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalumerekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania takjarang berteriak, 'Iya sayaaang,' jika sudahterdengar suara 'Prang'. Itu artinya, ada yangpecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca..Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompatdari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnyaterpental. Dan dia cuma bilang 'Kenapa semua kaca dirumah ini selalu pecah, Ma?'18 tahun yang lalu,Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awaldari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarinlalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania takmembelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagijadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.'Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemainbola!' tapi aku tidak suka dia menangis terus mintabola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak akubisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yangsudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bolaitu. 'Horee, Iya jadi pemain bola.'17 Tahun yang laluIya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan.Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidakakan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidaktahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang akutahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya darisekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bolasepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengahjalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirkumengalahkan kehati-hatianku dan 'Iyaaaa'. Sebuahtruk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnyaberhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakikusudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayangkelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana akubekerja sementarapekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumahkonsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata'Coba kalau kamu tak belikan ia bola!'15 tahun yang lalu,Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uangpesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabunganmenguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iyamulai banyak dibe! ntak. Aku hanya bisa membelainya. Danbilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepatmarah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan akutak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luarnegeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untukmencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkandia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya diamemang pergi ke Malaysia .13 tahun yang lalu,Setahun sejak keper! gian Kania, keuangan rumahku sedikitmembaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengarkabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masukSMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya.Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisamelanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakanpekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Akumiris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuhremaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapikeadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi akuharus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hiduptegar.10 tahun yang lalu,Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalusembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulananhinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.'Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.' Mungkinitu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabardia tidak marah walau tak urung menangis juga.'Sabar ya, Nak!' hiburku.'Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidakdiganggu!' pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakkumaafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalamhatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas darikerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudahsemakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidakpernah menunjukkankekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat dibangku SMP.!7 tahun yang lalu,Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku,kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengarkabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jikaaku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yangmembuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadiTKI ke Malaysia . Sulit baginya mencari pekerjaan di siniyang cuma lulusan SMP.. Haruskah aku melepasnya karenaalasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulaihabis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akanrajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelahitu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usahakecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku takkuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilakubaik-baik saja.4 tahun lalu,Kamila tak pernah telat ! mengirimi aku uang. Hampir tigatahun dia di sana . Dia bekerja sebagai seorang pelayan dirumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka denganlaki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkansinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya ituadalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudahingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu.Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubacadari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menungguhingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupasalat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salattahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pastisetiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkinuntuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebihpandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.3 tahun 6 bulan yang lalu,Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisianpemerintahan Malaysia , kabarnya anakku ditahan. Dan diadiancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suamimajikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis,aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkinmembunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku memintabantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku darimaut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakkuselesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Akuhanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai diamemang bersalah.2 tahun 6 bulan yang lalu,Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah.Dan dia harus menjalani ! hukuman gantung sebagaibalasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangissejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnyatak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakahkeadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.Wahai Allah kuatkan aku.Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia .Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya.Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak.Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.. Akumasuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur kearahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.'Bapak, Iya Takut!' aku memeluknya lebih eratlagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.'Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?''Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iyatidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan diajatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!' Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasibanakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisaapa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakkudihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat.Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal diMalaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanitaitu.2 tahun yang lalu,Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akanhadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudahdatang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya.Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itumembuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass'Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis.Setelah yakin suda! h mati, jenazah anakku diturunkanmereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku.Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Akumendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh airmata aku melihat garis wajah yang kukenal.'Kania?''Mas Har, kau ... !''Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!''Iya? Dia..dia . Iya?' serunya getir menunjukjenazah anakku.'Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bolajika sudah besar.''Tidak ... tidaaak ... ' Kania berlari ke arahjenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerithisteris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikansecarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu diaditurunkan dari tiang gantungan. Bunyinya 'Terima kasihMama.' Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudahtahu wanita itu ibunya.Setahun lalu,Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku.Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhirkudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkandi samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yangmengantarkanjenazahnya padaku, dia sering berteriak, 'Iyasayaaang, apalagi yang pecah, Nak.' Kamu tahu Kania,kali ini yang pecah adalah hatiku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar